Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI MALANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
5/Pid.Pra/2023/PN Mlg DEWI MARIA, SH.MM. Kepala Kejaksaan Agung RI Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Malang Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 20 Nov. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penyitaan
Nomor Perkara 5/Pid.Pra/2023/PN Mlg
Tanggal Surat Senin, 13 Nov. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1DEWI MARIA, SH.MM.
Termohon
NoNama
1Kepala Kejaksaan Agung RI Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Malang
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

1. Bahwa PEMOHON sangat keberatan atas penetapan tersangka yang ditetapkan kepada PEMOHON melalui SURAT PERINTAH PENYIDIKAN Kepala Kejaksaan Negeri Kota Malang Nomor: PRINT-5/M.5.11/Fd.2/02/2023 Tanggal 09 Februari 2023 yang menetapkan DEWI MARIA, Ketua Koperasi Montana Hotel-Malang sebagai TERSANGKA Jo. SURAT PERINTAH PENYIDIKAN Kepala Kejaksaan Negeri Kota Malang Nomor: PRINT-1332/M.5.11/Fd.2/10/2023 Tanggal 09 Oktober 2023;

 

2. Bahwa PEMOHON sangat keberatan atas penerbitan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang belum diterima sampai dengan PEMOHON telah ditetapkan sebagai Tersangka dan dilakukan penahanan melalui Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-1334/M.5.11/Fd.2/10/2023 tanggal 09 Oktober 2023;

 

3. Bahwa PEMOHON sangat keberatan atas Penyitaan yang dilakukan Tim Penyidik Kejaksaan Negeri Malang atas asset-asset yang tidak memiliki korelasi dengan tindak pidana yang disangkakan dan terdapat milik Pihak ketiga yang beritikad baik.

  1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014 tanggal 28 April 2015 (“Putusan MK Nomor 21 Tanggal 28 April 2015”), objek praperadilan telah diperluas sehingga termasuk di dalamnya adalah untuk menerima, memeriksa, dan memutus keabsahan penetapan tersangka.

Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada halaman 105-106 dinyatakan:

“Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”

 

  1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014 tanggal 28 April 2015 diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Sebagaimana dinyatakan dalam putusan halaman 107:

Dengan pertimbangan di atas, secara implisit Mahkamah sesungguhnya sudah menyatakan pendapatnya bahwa penggeledahan dan penyitaan merupakan

bagian dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenangwenang dari penyidik atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan.  Oleh karena itu, permohonan Pemohon mengenai penggeledahan dan penyitaan beralasan menurut hukum

 

  1. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015) menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.

 

Bahwa adapun alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.

 

  1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan “Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan Hak Asasi Manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi Tersangka, Terdakwa maupun Terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan terhadap HAM. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak Tersangka/Terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran HAM;

 

  1. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP pada hakekatnya dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum). Koreksi atau pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini adalah PEMOHON, sehingga dapat diartikan bahwa Lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan penerapan prinsip Habeas Corpus, yang pada hakekatnya memberi pengertian bahwa di dalam masyarakat yang berbudaya, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk selalu menjamin hak kemerdekaan setiap orang;

 

  1. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai suatu lembaga untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh Penyidik atau Penuntut Umum, sebagaimana secara khusus Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor : 21/PUU-XII/2014, Tertanggal 28 April 2015 Telah Memberikan Penegasan dan Interpretasi Bahwa Penetapan Tersangka Adalah Merupakan Objek Praperadilan;

 

  1. Bahwa pengujian keabsahan Penyelidikan, Penyidikan dan penetapan Tersangka melalui lembaga Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang Warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan Penyidik dalam proses penyidikan, sehingga lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan. Tanpa ditetapkan status atau label Tersangka, maka pada dasarnya tidak ada upaya paksa dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan status Tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari kegiatan penyidik yang akan diikuti upaya paksa yang dapat dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum terhadap seorang Tersangka atau Terdakwa. Seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan tanpa adanya keadaan bahwa seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka, dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang Warga Negara;

 

  1. Bahwa Objek Praperadilan yang diajukan PEMOHON untuk diperiksa dan diputus dalam perkara a quo berkenaan dengan penetapan Tersangka terhadap PEMOHON,  yang didasarkan kepada penetapan tersangka yang ditetapkan kepada PEMOHON melalui SURAT PERINTAH PENYIDIKAN Kepala Kejaksaan Negeri Kota Malang Nomor: PRINT-5/M.5.11/Fd.2/02/2023 Tanggal 09 Februari 2023S dan penerbitan SPDP yang sampai sekarang belum diketahui serta Penyitaan oleh Tim Kejaksaan pada Jumat 03 November 2023. Oleh karena yurisdiksi wilayah dari Pengadilan Negeri Malang maka Pengadilan Negeri Malang berwenang untuk menerima, mengadili, dan memutus permohonan praperadilan yang diajukan PEMOHON;

 

  1. Bahwa sebagai warga negara yang memiliki hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum, PEMOHON sangat dirugikan atas penetapan tersangka dan Penyitaan yang diterbitkan dan dilakukan oleh TERMOHON karena masih sangat premature dan dilakukan dengan melanggar dan menyimpang dari prosedur hukum acara yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP dan beberapa ketentuan perubahan dan tambahan yang termaktud di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.

Bahwa penetapan Tersangka yang tidak berdasarkan kepada hukum itu selain melanggar hak kemerdekaan PEMOHON, secara nyata juga melanggar hak PEMOHON untuk tetap dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan secara sah menurut ketentuan hukum acara yang berlaku (asas praduga tidak bersalah/presumption of innocence). Atas dasar itu, PEMOHON secara langsung memohon kepada Pengadilan Negeri Kota Malang untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan permohonan praperadilan a quo.

Pihak Dipublikasikan Ya